Ilmuwan: Meski Telah Meninggal Dunia, Jiwa Manusia Tetap Abadi...
Gabungan beberapa penelitian ilmiah terbaru mengatakan bahwa otak manusia adalah 'komputer biologis', di mana fungsinya serupa dengan perangkat komputer personal berdaya kuantum.
Hal itu menjadi dasar penelitian lanjutan yang menyebut bahwa jiwa manusia akan tetap abadi setelah jasadnya meninggal.
Namun, bukan abadi dalam pengertian yang dimiliki sejumlah keyakinan, melainkan kekal dalam bentuk energi yang mampu berhubungan dengan dimensi lain (multi universe), demikian dilansir dari situs Tetribe pada Senin (12/3/2018).
Adalah seorang ahli fisika Dr Stuart Hameroff, dan ahli matematika Sir Roger Penrose, yang berargumen bahwa jiwa sejatinya tersimpan pada sebuah mikro-tubulus di dalam sel otak.
Keduanya menyebut sistem ini sebagai 'Pengurangan Tujuan Obyektifikasi', atau Orch-OR, yakni ketika jasad manusia meninggal, maka mikro-tubulus pada otak berubah menjadi partikel kuantum yang tetap membawa informasi di dalamnya.
Mikro-tubulus inilah yang kemudian disebut sebagai sifat abadi pada jiwa makhluk hidup. Tidak bisa dihancurkan, dan akan terus membawa informasi hingga menuju beragam dimensi yang lebih besar.
"Jika jasad kembali dihidupkan, yakni setelah koma atau pasca-operasi bedah khusus, memungkinkan kuantum informasi kembali ditangkap mikro-tubulus, namun dengan jumlah yang tidak bisa seratus persen sama dengan kondisi sebelumnya," jelas Sir Roger seraya mengaitkan hal tersebut dengan kondisi mati sebagian, atau umum dikenal dengan istilah mati suri.
Ditambahkan oleh Dr Stuart, bahwa jiwa makhluk hidup sangat mungkin berupa hasil 'interaksi' antar neuron di otak.
Ia mengibaratkan interaksi neuron yang saling berkaitan itu serupa dengan sistem silang saling informasi pada server komputer, di mana inti memorinya dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya melalui transfer data.
Tidak Ada Kematian di Dimensi Ruang dan Waktu
Sementara itu, sebuah penelitian ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Science pada 2015 lalu, memperlihatkan bahwa sistem penyimpanan informasi dapat berubah saat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Meski begitu, inti informasi yang bersifat jangka panjang, seperti memori tumbuh kembang misalnya, dapat terus bertahan dalam kuantum-kuantum yang bertebaran di luar jasad.
Teori terkait didapat dari hasil penelitian menggunakan beam spitter, yakni perangkat optik untuk membelah berkas cahaya, yang dapat memutus distribusi partikel-partikel energi.
"Ketika terputus, partikel-partikel tersebut membentuk sebuah lorong waktu untuk menyelami penggalan memori masa lalu," jelas Robert Landwill, salah seorang peneliti dari Departemen Fisika pada Universitas Durham, Inggris.
Kaitan antara pengalaman dan semesta ini melampaui gagasan-gagasan manusia mengenai ruang dan waktu. Tapi biosentrisme sendiri menyatakan, ruang dan waktu bukan obyek sulit seperti yang dibayangkan.
Teori ini menganalogikan waktu sebagai udara yang sia-sia untuk ditangkap manusia karena memang tak pernah bisa diraih.
Menurut biosentrisme, ruang dan waktu semata-mata adalah alat penghimpun informasi secara bersamaan. Karena itulah, dalam dunia yang tidak ada ruang dan waktu, tak ada istilah kematian.
Sumber : global liputan6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar